Selasa, 26 Maret 2013

Proses Belajar di luar kelas tidak harus mengeluarkan biaya dan dilakukan di luar area sekolah. berfungsi sebagai penawar kejenuhan siswa kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, dapat memacu semangat minat belajar siswa.


Kepedulian masyarakat yang kian hari kian pesimis terhadap masa depan sang buah hati mereka, sehingga mulai jarang kita temui kegiatan pembelajaran agama. tak jarang dari kita lebih menekankan buah hati kita belajar sesuatu yang bersifat duniawi dibanding agama terutama dalam pencetakan akhlak putra putri kita. bukti kongkrit kita lebih menekan terhadap buah hati kita tuk mengikuti kursus atau pun les yang dapat menunjang prestasi dibidang umum yang dapat menjadikan hati kita merasa bangga akan prestasi buah hati kita ketimbang memiliki buah hati yang bertuturkata santun dan bertindak sopan.
sungguh ironi sekali kegiatan klasikal yang justru dapat merubah masadepan bangsa tak pernah di hiraukan. jangan kan oleh pemerintah, masyarakat pun enggan meliriknya.
fakta yang ada ketika terdapat dua waktu yang sama dalam kegiatan mengaji dengan les bahasa atau piano, kita dengan enteng mengatakan " ya sudah ngaji nya habis les sajah". 
lalu siapa yang bertanggung jawab akan bangsa ini?
lalu siapa yang bertanggung jawab atas maraknya ketidak adilan dinegri ini, kita bisa lihat fakta pengemudi yang menhiangkan nyawa orang lain karena pelaku anak pejabat hanya 5 bulan saja.
maling ayam tak pernah ada keadilan bagi mereka.
tapi orang - orang yang memiskinkan bangsa, yang membuat bangsa menjadi dangkal akal bagaimanah?

Akhlak


Aksi dan perilaku negatif mulai dari demo anarkis, tawuran, KDRT, tindak korupsi, perilaku a-susila hingga bullying yang  acapkali terjadi di lembaga pendidikan merupakan wujud-wujud perbuatan tak terpuji atau lahir dari akhlak tercela. Sedang akhlak tercela dipastikan berasal dari orang bermasalah dalam keimanan yang merupakan manifestasi sifat syaitan dan iblis yang tugas utama dan satu-satunya menjerumuskan manusia agar tersesat dari koridor agama.
Dalam Al Quran diungkap bahwa Iblis adalah makhluk sombong. Tatkala disuruh Allah bersujud terhadap Adam, ia menolak dan malah mengatakan "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api, sedang Engkau menciptakannya dari tanah"(Qs. Al-A'raf: 12). Iblis pantang bersujud. Allah murka dan menghukumnya keluar dari surga. Iblis minta waktu untuk menjerumuskan manusia. Peristiwa ini diabadikan Allah di berbagai surat dalam Al Quran.
Ajaran Islam tidak membiarkan perbuatan tercela. Nabi Muhammad sendiri diutus dalam upaya menyempurnakan akhlak manusia. Mukmin adalah yang mempunyai akhlak paling baik. Dalam kamus bahasa yang mendekati makna akhlak adalah budi pekerti. Senyatanya di Indonesia budi pekerti bangsa masih menjadi persoalan, hingga dimunculkan karakter.  UU Sisdiknas no 20 tahun 2003  telah menaruh perhatian dengan mencantumkan akhlak mulia sebagai suatu tujuan penting dari sistem pendidikan nasional. Tetapi maraknya kekerasan dan perilaku negatif yang dilakukan oleh kaum terdidik membuat kita miris dan prihatin. Perbuatan itu dilakukan orang yang mengaku beragama.
Era reformasi di Indonesia yang digulirkan belasan tahun lalu diharapkan dapat merubah struktur, sistem dan budaya yang buruk menuju perubahan bermakna, namun kenyataannya tidak demikian. Keterpurukan multi dimensional masih merebak. Hal ini mengindikasikan ada yang keliru dalam proses pembinaan (baca: mendidik) anak-anak bangsa.
Sejak orde baru berkuasa pemerintah Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Jumlah anak usia sekolah yang mengenyam pendidikan dasar dan menengah makin besar. Jumlah yang mendaftar sekolah dasar dan menengah secara statistik lebih tinggi dibanding Negara-negara ASEAN  (www.worldbank.org).  
Meski secara kuantitatif pembangunan pendidikan di jenjang SD dan sekolah menengah menunjukkan hasil impresif terutama sejak keluarnya instruksi presiden (Inpres) SD tahun 1970 an - sehingga pemerintah berani mencanangkan kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun -, namun dari segi kualitatif kinerja sistem pendidikan nasional justru semakin merosot. Rendahnya mutu lulusan pendidikan disebabkan pembelajaran di sekolah masih terpaku pada paradigma dan cara-cara pengajaran (pembelajaran) tradisional berupa penerusan informasi yang hanya melibatkan kemampuan berpikir tingkat rendah (low cognitive skills) yaitu menghafal. Kerangka pikir penerusan informasi yang telah bercokol lama, sudah saatnya diganti dengan paradigma pembelajaran yang lebih mendidik (Raka Joni 2005). Pembelajarn yang menghasilkan insan-insan dengan kecakapan emosional prima sebagai unsur penting pembentukan karakter.
Temuan penelitian mengungkapkan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan menerima, mengenal dan mengelola emosi merupakan dasar dari berbagai kecakapan sosial dan emosional yang diperlukan untuk keberhasilan. Senyatanya tata pandang masyarakat belum banyak berubah. Seperti diketahui bahwa pada awalnya banyak pihak melihat keberhasilan seseorang dikaitkan dengan tingkat IQ. Makin tinggi skor IQ seseorang, menurut asumsi semula, akan semakin "sukses" dalam kehidupannya. Belakangan sejumlah temuan riset mengungkap bahwa ternyata ada aspek lain yang menjadi faktor penentu keberhasilan. Aspek lain itu dikenal dengan sebutan Emotional Intelligence (EI). Ini berarti kecerdasan tidak hanya berupa kemampuan intelektual semata tetapi juga kecakapan emosional. Bahkan dari berbagai penelitian dan pengamatan praksis di dunia usaha terdapat hubungan yang cukup signifikan antara kecakapan emosional dan keberhasilan seseorang dalam menampilkan unjuk kerja yang terbaik (top performer). Ternyata terbukti dalam riset bahwa 80% keberhasilan adalah andil dari faktor EI, sedang 20% lainnya berasal dari  IQ atau kemampuan intelektual (Daniel Goleman 1995). EI terkait dan sering ditemui dalam kecakapan insani (bagian dari akhlak) seseorang atau dikenal dengan soft skills, sedang kemampuan intelektual (IQ) disebut kompetensi teknikal (hard skills).
Oleh karena itu kecakapan insani sangat memegang peran membentuk peradaban mulia. Hal ini berkaitan dengan akhlak mulia yang dalam sistem pendidikan nasional kita telah dengan tepat dimasukkan sebagai tujuan pendidikan nasional. Namun kegiatan pendidikan masih belum berhasil menjadikan putra/i bangsa yang berakhlakul karimah sebagaimana dipaparkan diatas.
Dalam Islam  disebutkan Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung: wainnaka la ‘ala khuluqin azim (QS Al-Qalam: 4). Akhlak terpuji dicontohkan Nabi diantaranya, menjaga amanah, dapat dipercaya, bersosialisasi dan berkomunikasi efektif dengan umat manusia sesuai harkat dan martabatnya, membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu, menghindari pertengkaran, memahami nilai dan norma yang berlaku, menjaga keseimbangan ekosistem, serta bermusyawarah dalam segala urusan untuk kepentingan bersama.  Keberadaan Nabi selaku utusan Allah kepada umat manusia pada intinya dapat disimak dari ucapan beliau: "Sesungguhnya aku (Muhammad) ini diutus ke dunia semata-mata demi menyempurnakan Akhlak umat manusia" (al-Hadist).
Sabda Rasulullah tersebut diatas menunjukkan tiada lain bahwa kehidupan manusia ini semestinya bersandar pada segala perilaku positif dan tindakan terpuji. Itulah semua bagian dari sebuah akhlak yang mulia. Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting, ia merupakan "buah" dari pohon Islam  berakarkan akidah dan berdaun syari'ah.
Dari sisi pembelajaran sosial diungkap bahwa perubahan perilaku seperti terbentuknya karakter bangsa melalui pendidikan karakter akan dapat efektif apabila para elite pemimpin menampilkan contoh keteladanan. Perilaku pemimpin yang berada dalam pusaran korupsi ditambah lagi miskin empatinya terhadap penderitaan rakyat akan bisa menafikan hasil dari pendidikan karakter. Sehingga karakter bangsa yang diharapkan tersebut menjadi sia-sia dan tidak dapat terwujud dalam waktu dekat. Pengejawantahan ajaran Agama sesungguhnya berdasar pada perilaku pemeluknya. Sebaik-baiknya karakter manusia menurut ajaran Islam adalah dari apa yang dicontohkan Rasulullah.
OLEH ARIES MUSNANDAR 
*) Aries Musnandar Staf Pengajar FEB Universitas Brawijaya Malang


Pandidikan

pendidikan tidak lepas dari tiga unsur yaitu :
1. seorang pendidik
2. peserta didik
3. materi yang di transfer oleh pendidik kepada peserta didik